blogger
Surat Yaasiin dan Berkah Air
Surat Yaasiin dan Berkah Air
By Nurlis Effendi
Masjid Shiratal Mustaqiem telah lama menjadi tempat yang sangat sakral di Samarinda, Kalimantan Timur. Di bulan Ramadan, sepanjang lima waktu masjid ini penuh jamaah. Tambah lagi yang bersalat sunat tarawih.
Sejak dibangun pada 1881, masjid di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, ini tak banyak berubah. Berdiri di areal seluas 2.028 meter persegi, ia dibuat dari kayu. Berawal dari pemancangan empat tiang utama (soko guru) yang disumbang empat tokoh di sana, yaitu Kapitan Jaya membawa sebatang dari loa Haur di Gunung Lipan, Pangeran Bendahara mengambil dari Gunung Dondang, Samboja, Petta Loloncang mencabut satu pohon dari Gunung Salo Tireng di Sungai Tiram, dan satu lagi diambil dari Sungai Karang
.
Masjid selesai dibangun pada 1891. Sepuluh tahun berselang berdiri pula menara masjid bersegi delapan empat lantai. Menara setinggi 21 meter disumbang oleh Saudagar Belanda Henry Dasen. Kemudian pengembangan pembangunan masjid baru terjadi lagi pada 1970, 1989, dan 2001. Namun tanpa mengubah bentuk asalnya hanya penambahan sejumlah fasilitas seperti perpusakaan, sekretariat, dan taman.
Salah satu ritual unik di sini adalah ketika masyarakat menyambut Ramadan. Saat Nisfu Sya'ban, masjid dipenuhi jamaah yang membawa bekal air minum. Air minum itu disimpan di termos, botol plastik, bahkan jerigen. Air itu diletakkan di tengah-tengah aula utama mesjid.
Saat salat Magrib berjamaah selesai, ritual dimulai. Pada waktu antara Magrib dan Isya, jemaah menggunakannya membaca surat Yaasiin secara bersama-sama sebanyak tiga kali. Sebelum membaca Yaasiin, air yang dibawa dipastikan tidak dalam kondisi tertutup. Cara ini dilakukan dengan harapan agar 'berkah' surat bersama-sama masuk ke dalam air yang dibawa dari rumah tadi.
Masing-masing pembaca surat Yaasiin membawa niat di dalam hati. Pembacaan pertama diniatkan agar umat selalu diberi kesehatan dan kekuatan dalam beribadah kepada Allah. Pembacaan kedua, agar umat diberi umur yang panjang sehingga dapat bertemu kembali pada ramadan yang akan datang. Dan pembacaan terakhir diniatkan agar umat Islam selalu mendapat perlindungan dari Allah SWT. Air yang telah dibawa dari masjid tersebut dipercaya membawa berkah bagi siapa saja yang meminumnya.
Begitulah tradisi yang di masjid yang sudah menjadi simbol Islam di Samarinda Seberang. Dari tempat inilah titik awal berdirinya Kota Samarinda. Sekitar 1667, sebagian orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan, meminta suaka kepada Sultan Kutai. Mereka kemudian diberikan kesempatan oleh Sultan Kutai membuka perkampungan di dekat pelabuhan.
Sultan Kutai kemudian memberi nama perkampungan itu "Sama Rendah". Maksudnya, setiap penduduk baik asli maupun pendatang memiliki derajat sama. Tak ada perbedaan antara suku Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya. Diperkirakan pengucapan itu lama-kelamaan berubah menjadi Samarinda.
Setelah perkampungan ini berdiri, masalah muncul. Ada sebidang tanah yang dipakai warga buat menyabung ayam di siang hari, dan malamnya jadi arena judi dadu. Kegiatan ini membuat gundah Pangeran Bendahara sebagai Kepala Adat dan Agama. Kemudian dia berunding dengan tokoh masyarakat mencari jalan keluar atas kondisi dimaksud. Akhirnya disepakati dilakosi tersebut didirikan sebuah masjid. Maka berdirilah Shiratal Mustaqiem ini.
Foto: ANTARA/Budi Afandi
By Nurlis Effendi
Masjid Shiratal Mustaqiem telah lama menjadi tempat yang sangat sakral di Samarinda, Kalimantan Timur. Di bulan Ramadan, sepanjang lima waktu masjid ini penuh jamaah. Tambah lagi yang bersalat sunat tarawih.
Sejak dibangun pada 1881, masjid di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, ini tak banyak berubah. Berdiri di areal seluas 2.028 meter persegi, ia dibuat dari kayu. Berawal dari pemancangan empat tiang utama (soko guru) yang disumbang empat tokoh di sana, yaitu Kapitan Jaya membawa sebatang dari loa Haur di Gunung Lipan, Pangeran Bendahara mengambil dari Gunung Dondang, Samboja, Petta Loloncang mencabut satu pohon dari Gunung Salo Tireng di Sungai Tiram, dan satu lagi diambil dari Sungai Karang
.
Masjid selesai dibangun pada 1891. Sepuluh tahun berselang berdiri pula menara masjid bersegi delapan empat lantai. Menara setinggi 21 meter disumbang oleh Saudagar Belanda Henry Dasen. Kemudian pengembangan pembangunan masjid baru terjadi lagi pada 1970, 1989, dan 2001. Namun tanpa mengubah bentuk asalnya hanya penambahan sejumlah fasilitas seperti perpusakaan, sekretariat, dan taman.
Salah satu ritual unik di sini adalah ketika masyarakat menyambut Ramadan. Saat Nisfu Sya'ban, masjid dipenuhi jamaah yang membawa bekal air minum. Air minum itu disimpan di termos, botol plastik, bahkan jerigen. Air itu diletakkan di tengah-tengah aula utama mesjid.
Saat salat Magrib berjamaah selesai, ritual dimulai. Pada waktu antara Magrib dan Isya, jemaah menggunakannya membaca surat Yaasiin secara bersama-sama sebanyak tiga kali. Sebelum membaca Yaasiin, air yang dibawa dipastikan tidak dalam kondisi tertutup. Cara ini dilakukan dengan harapan agar 'berkah' surat bersama-sama masuk ke dalam air yang dibawa dari rumah tadi.
Masing-masing pembaca surat Yaasiin membawa niat di dalam hati. Pembacaan pertama diniatkan agar umat selalu diberi kesehatan dan kekuatan dalam beribadah kepada Allah. Pembacaan kedua, agar umat diberi umur yang panjang sehingga dapat bertemu kembali pada ramadan yang akan datang. Dan pembacaan terakhir diniatkan agar umat Islam selalu mendapat perlindungan dari Allah SWT. Air yang telah dibawa dari masjid tersebut dipercaya membawa berkah bagi siapa saja yang meminumnya.
Begitulah tradisi yang di masjid yang sudah menjadi simbol Islam di Samarinda Seberang. Dari tempat inilah titik awal berdirinya Kota Samarinda. Sekitar 1667, sebagian orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan, meminta suaka kepada Sultan Kutai. Mereka kemudian diberikan kesempatan oleh Sultan Kutai membuka perkampungan di dekat pelabuhan.
Sultan Kutai kemudian memberi nama perkampungan itu "Sama Rendah". Maksudnya, setiap penduduk baik asli maupun pendatang memiliki derajat sama. Tak ada perbedaan antara suku Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya. Diperkirakan pengucapan itu lama-kelamaan berubah menjadi Samarinda.
Setelah perkampungan ini berdiri, masalah muncul. Ada sebidang tanah yang dipakai warga buat menyabung ayam di siang hari, dan malamnya jadi arena judi dadu. Kegiatan ini membuat gundah Pangeran Bendahara sebagai Kepala Adat dan Agama. Kemudian dia berunding dengan tokoh masyarakat mencari jalan keluar atas kondisi dimaksud. Akhirnya disepakati dilakosi tersebut didirikan sebuah masjid. Maka berdirilah Shiratal Mustaqiem ini.
Foto: ANTARA/Budi Afandi
Via
blogger
Posting Komentar